11 Juni 2011

NII x Nietzche

Ibu Peritiwi berzikir! Sebut Negara 17 kali, Islam 8 kali dan Indonesia 45 kali, terus terusan, terus menerus. Kenapa? NII-gerakan politik yang diproklamasikan 12 Syawal 1368 oleh SM Kartosoewirjo-kembali menjadi gonjang-ganjing politik kebudayaan Indonesia. Sebagai ibu, Pertiwi ogah negara ini cuma makhluk goro-goro. Indonesia itu kudu ajeg, mantep dan top markotop! Harap maklum, seperti ditulis Harry Ecstein ‘In the Science of the state’, 1979. “Dalam dunia modern yang anomik, negara dan idenya merupakan fiksi yang dibutuhkan.
NII diada-adakan, apa harus ada? Saya hanya bisa tertawa. Aneh yang nyeleneh, ketika bumi Tuhan ini dikapling-kapling atas nama nation passion yang diatasnya berkibar logika Negara Islam. Padahal NKRI saja kerap gagal mengaktualisasikan diri menjadi ‘tangan tersembunyi’ penyelamat bangsa. Bahkan, otoritas sentral ini pada dekade Soekarno hingga Suharto, misalnya, menjadi amat superior despostis. Era itu kedaulatan tertinggi hanya ada pada negara. Kekuasaan diposisikan semata-mata sebagai substansi otoritas logika. Tak aneh manakala dalam dialog teologi kultural, Mohammad Roem, Dr. M Amin Rais hingga Nurcholish Madjid menolak adanya NII. “Tidak ada dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,”ungkap Amien Rais (Panjimas No.379 Safar 1403 H)
Tak pelak, Negara sekuler lebih memosisikan diri sebagai logika pamayung kedaulatan sekaligus hakim tertinggi terhadap apa yang didiktekan akal, alam dan Tuhan! “Raja juga merupakan otoritas tertinggi menyangkut hukum Tuhan.” tulis Hobbes, Leviathan (1968 :h.369ff). Artinya, negara memosisikan kekuasaan sejenis genita ajaib yang menciptakan ‘hukum-hukumnya’nya sendiri di luar moralitas konvensional dan agama. Negara lahir dan mengalir memetamorforsa secara alamiah. Ia tumbuh dari tatanan sosial. Dan perlu. Soalnya, tanpa otoritas sentral dan otoritas tak tersaingi, masyarakat akan hancur oleh peperangan yang tiada hentinya. Tak aneh, bila pemuja negara model beginian telah mendemistifikasikan negara sekaligus mengingkari adanya legitimasi Tuhan serta ajaran moral.
Ikhwal ini, dinilai para pemuja NII laksana kunci linglung yang mangmung yang cuma melahirkan otoriter absolut. Konon, ketika jaman masih disemangati cahaya reliji yang teduh, tak sedikit masyarakat yang lebih nyaman hidup tanpa negara dibandingkan memasyarakat dalam todongan otoriter penguasa despotis. Ini mirip pemikiran John Locke (1632-1704) “Negara harus dibatasi wilayahnya dan didesak dalam praktiknya agar menjamin kemerdekaan maksimum setiap penduduk.”
Tak jelas apakah tuturan Locke menginspirasi lahirnya pemikiran seputar NII. Yang tercatat sejarah, ternyata kelompok utilitarian abad ke-17 dan 18 seperti John Stuart Mill, misalnya mensakralkan kemerdekaan dan hak-hak asasi manusia sekaligus mensterilkan tangan negara dari darah, tirani dan kebringasan totaliter. Ini didapat bila cahaya imani telah menjadi substasi ruh negara. Negara tidak sekedar suara Tuhan, tetapi Tuhan itu sendiri. Tuhan, sang Jiwa menyatakan diri-Nya dalam sejarah dan negara merupakan tujuan dari sejarah. “Negara itu tercipta dari bentangan jiwa yang mensejarah, “ungkap Georg Wilhelm Friederch Hegel (1967), “Maka negara adalah penjelmaan kehendak Tuhan.”
Suara Hegel di bawah lanskap cahaya reliji itu menjadi suara sejarah yang kerap dijiarahi penghamba politik ketuhanan. Ia memikroskop negara dengan mata batin yang jernih. Fantasia Hegel yang fantastis! Dan sejarah abad ke-18 memberi tempat terhormat buat Hegelian. Terbukti seorang filosuf sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber di abad ke-19, misalnya merevitalisasi orasi rasional Hegelian sekaligus mendefinisikan negara lebih signifikan. Definisi negara inilah yang akhirnya melahirkan aliran pluralisme dan Neo-Pluralisme yang mengembalikan teori politik modern ke pangkuan Tuhan.
***
NII tak mustahil cuma karya fiksi ketika luka kultural terselip di lipatan buku sejarah. Adalah satu halaman dari satu buku bernama Indonesia yang sangat luar biasa besar, yang tidak diketahui jumlah halamannya kecuali Allah swt. Maka sangat naïf, ketika tuhan dijerat dan dikibarkan menjadi bendera negara. Terlebih lagi ketika negara berbasis agama itu melintasi aliran sejarah penuh darah.
Emang sich cikal bakal nasionalisme Indonesia bermula dari Nur Islam. Histeria Allah hu Akbar yang dikobarkan para amma-ya’ummu-, sebut saja pembrontakan santri Cerbon tahun 1818 yang kelak menghihami santri-santri Tegalrejo untuk mengadakan pembrontakan 1825-1830 yang lebih dikenal dengan Perang Diponegoro, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Syariat Islam canangkan kebangkitan nasional yang dikenal dengan gerakan kerso kuwoso mardik, adalah deret ukur kadar kemerdekaan Indonesia.
Indonesia adalah darah syuhada yang mengalir di hamparan sajadah sejarah, yang dalam sujud malamnya tahu betul makna tersembunyi dari firman Allah “Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu, kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (Al Furqan:45-46,)
NII tak mustahil menakwil Indonesia dalam perspektif Firman Allah SWT di atas. Indonesia tidak lebih dari kesementaraan yang tak ajeg. Indonesia adalah Nur, dan Matahari adalah dhiyah. Adalah siluet yang kelak-entah kapan- akan ditarik perlahan-lahan dari garis edarNya.
Tentu itu ijtihad sepihak yang perlu dikaji lebih dalam. Sebab, tiap kali muncul isu NII, selalu saja nalar saya berlari liar menuju tuturan Nietzsche dalam Frochliche Wissenschaft yang hipotesiskan simbolisme orang sinting yang meninting lentera dan berteriak dalam abad-abad gelap: “Apa yang paling suci dan mulia yang pernah dimiliki dunia, kini mengucurkan darah karena pisau kita. Siapa yang harus menghapus darah dari tangan kita ?”

2 komentar: